Mungkin nanti baru kau akan mengerti, telah lama aku mengemas hati dan bersiap pergi. Bahwa pertemuan pertemuan kemarin adalah sedikit hari yang masih ingin kusisakan. Serupa hujan yang menjelma gerimis sebelum benar-benar berhenti jatuh. Serintik demi serintik kenangan yang jatuh basah menjadi titik titik air di teras kita. Aku hanya menunda sejenak. Mengajak hatiku senyap sesaat hingga bisa kudengar bunyi bunyi yang lama mati. Aku memang telah lama menuli dari hatiku sendiri. Sejak kita sepakat tentang sebuah janji yang sudah kau ingkari.
Lalu kesetiaan hanya debu karatan yang tak laku, tak menarik bagimu. Kemudian aku dipaksa sadar dan mengakui kalau kau punya mimpi sendiri. Mimpi yang tak hendak kau bagi untukku. Hingga luruhlah kerak kerak di telingaku. Berderak satu persatu dan aku mulai berhenti tuli. Ku dengar hatiku berbisik. Nyaris tak terdengar saking tipisnya suara hatiku. Atau saking tulinya aku selama ini. Mengajakku pergi mencari mimpi sendiri.
Dan sayang.... aku akan pergi. Tak sekarang memang. Masih kusiapkan dulu hiasan untuk makam kita. Sambil menyeduh gerimis untukmu sebelum aku berhenti jatuh. Sesaplah rintik rintik yang menghampiri.
Mungkin baru nanti kau baru mengerti, bahwa puluhan sajak yg ku simpan adalah nisan kisah kita yang tunai.